Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu, (1) Wuchereria bancrofti, (2) Brugia malayi, (3) Brugia timori. Tiap spesies mempunyai vektor dan menyebabkan gejala klinis yang berbeda-beda saat menginfeksi manusia. Selain itu juga tiap spesies mempunyai sifat yang berbeda saat berada dalam aliran darah manusia (Depkes RI, 2006a).
Setiap spesies microfilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya, microfilaria berada di darah tepi pada waktu yang berlainan. W. bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya microfilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam, seperti, paru-paru, jantung, dan ginjal (Depkes RI, 2006a). Setiap jenis cacing filaria mempunyai distribusi wilayah yang berbeda-beda, sehingga daerah endemis filariasis juga berbeda.
Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis yang disebabkan oleh W. bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaaan masih banyak ditemukan di Papua dan Nusa Tenggara Timur, sedangkan tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti, di Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemis di daerah persawahan. Menurut Depkes RI (2006a), secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi enam tipe, yaitu:
1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya, memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembangbiak di air limbah rumah tangga.
2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan di luar jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles sp, Culex sp, dan Aedes sp.
3. Brugia malayi tipe periodik nokturna
Microfilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.
4. Brugia malayi tipe sub-periodik nokturna
Microfilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia sp yang ditemukan di daerah rawa.
5. Brugia malayi tipe non periodik
Microfilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.
6. Brugia timori tipe periodik nokturna
Microfilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.
Secara umum daur hidup ketiga spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi didalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (macrofilaria) hidup di saluran dan kalenjar limfe, sedangkan anaknya (microfilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2006a).
1. Macrofilaria
Macrofilaria berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100mm x 0,16mm, dapat menghasilkan jutaan microfilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil 55mm x 0,09mm dengan ujung ekor melingkar.
2. Microfilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut microfilaria. Ukuran microfilaria 200-600μm x 8μm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies microfilaria dapat dibedakan berdasarkan ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
3. Larva dalam tubuh nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia atau hewan yang mengandung microfilaria, maka microfilaria akan terbawa masuk kedalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah tiga hari, microfilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium satu (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250mm x 10-17mm, dengan ujung runcing seperti cambuk. Setelah enam hari, larva berkembang menjadi larva stadium dua (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300mm x 15-30mm, dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium dua, larva menunjukan adanya gerakan. Hari ke-delapan sampai ke-sepuluh pada spesies Brugia, atau hari ke-sepuluh sampai ke-empat belas pada spesies Wuchereria, larva tumbuh menjadi larva stadium tiga (L3) yang berukuran 1400mm x 20mm. Larva stadium tiga berbentuk panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium tiga dalam siklus tersebut merupakan stadium infektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar