Pada tahun 1997, World Health Assembly menetapkan resolusi Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem, yang kemudian pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan World Health Organization dengan mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. Indonesia menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular, yang ditandai dengan dikeluarkannya, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005, tahun 2004-2009, Bab 28, D, 5. Program pemberantasan filariasis telah dilaksanakan sejak tahun 1975, terutama di daerah-daerah endemis.
Filariasis merupakan penyakit menular menahun yang sampai saat ini masih terdapat di dunia. Pada tahun 1947 filariasis telah menginfeksi 256 juta penduduk. 189 juta penduduk diinfeksi Wuchereria bancrofti, 13 juta diinfeksi Loa loa, 27 juta diinfeksi Dipetalonema perstans, 20 juta diinfeksi Onchorcerca volvulus, dan 27 juta diinfeksi Mansonella ozzardi. Data tersebut memperlihatkan dari berbagai spesies filaria berdasarkan habitatnya yang paling banyak menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti yang merupakan filariasis limfatik (Sasa, 1976). Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara seluruh dunia dan 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan subtropis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006a).
Penurunan kasus dari tahun 1947 hingga 2004 terjadi dibeberapa negara secara sporadis, kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh semakin baiknya sanitasi lingkungan sehingga tidak terdapat kesempatan vektor untuk berkembang biak. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang terletak di daerah tropis, yang menyebabkan rawan terjadinya filariasis karena luasnya wilayah, sanitasi yang masih kurang baik, adanya daya dukung lingkungan untuk perkembangbiakan vektor dan terdapatnya tiga spesies filaria dengan vektornya yang bermacam-macam. Hal ini dipersulit dengan adanya hospes alami selain manusia pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi, sehingga kasus filariasis tetap dapat ditemukan di Indonesia, khususnya diluar Pulau Jawa.
Penyakit ini tidak mengakibatkan kematian, tetapi dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup, stigma sosial, serta hambatan psikososial sehingga menurunkan produktivitas kerja penderita, keluarga, dan masyarakat yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Hasil penelitian Departemen Kesehatan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tahun 1998 dalam Depkes RI (2006a), menunjukan bahwa biaya perawatan yang diperlukan seorang penderita filariasis pertahun 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya makan keluarga, sedangkan menurut Gani (2000), total kerugian ekonomi akibat ketidakmampuan penderita filariasis adalah 67% dari total pengeluaran rumah tangga perbulan dan rata-rata kerugian ekonomi per satu kasus kronis filariasis sebesar Rp. 735.380 per tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sri Lanka pada tahun 2006, mengenai dampak fisik dan psiko-sosial penderita filariasis dapat dilihat pada tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1. Dampak Filariasis Pada Kehidupan Sehari-hari di Sri Lanka, Tahun 2006
Kegiatan sehari-hari | Jumlah penderita (jiwa) | ||
Tidak mengalami hambatan | Mengalami hambatan (dapat dilakukan sendiri) | Mengalami hambatan (harus mendapatkan bantuan) | |
Makan Berpakaian Mandi Menggunakan WC Berjalan Pekerjaan rumah Berdiri | 413 406 397 341 262 291 387 | 0 7 16 70 151 122 26 | 0 0 0 2 0 0 0 |
Sumber: Wijesinghe et al. (2006).
Dari tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa hampir seluruh penderita filariasis (diatas 60%) dapat melakukan kegiatan sehari-harinya. Namun, bagi penderita yang mengalami hambatan tetapi masih dapat melakukan sendiri, kegiatan berjalan (36,6%) dan melakukan pekerjaan rumah (29,5%) masih merupakan gangguan. Dari hasil penelitian Wijesinghe et al (2006), yang dilakukan di Sri Lanka, dampak psiko-sosial yang paling dirasakan adalah kesulitan mendapatkan pendidikan dan berinteraksi di masyarakat.
Berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, di Indonesia terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis, dengan enam juta penduduk diantaranya telah terinfeksi (Depkes RI, 2006a). Survei lain menyatakan sebanyak 8.243 orang di Indonesia telah menderita klinis kronis filariasis terutama di pedesaan (Depkes RI, 2006a), sedangkan berdasarkan survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% puskesmas dari 7.221 puskesmas. Dari data profil kesehatan Indonesia diketahui bahwa setiap tahun terjadi peningkatan filariasis. Pada tahun 2003 kasus filariasis sebanyak 6.720 kasus, tahun 2004 sebanyak 6.998 kasus, tahun 2005 sebanyak 8.243 kasus, tahun 2006 sebanyak 10.427 kasus, tahun 2007 sebanyak 11.473 kasus, dan tahun 2008 sebanyak 11.699 kasus (DepKes, 2009).
Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari tahun 1999 masih tinggi dengan microfilaria (Mf) rate 3,1%. Berdasarkan survei darah jari pada penduduk desa dengan jumlah penderita terbanyak pada tahun 2002-2005, di Sumatera dan Kalimantan, telah teridentifikasi 84 kabupaten/kota dengan microfilaria rate (Mf rate) satu persen atau lebih. Data tersebut menggambarkan bahwa seluruh daerah di Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah endemis filariasis (Depkes RI, 2006e).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008 diketahui bahwa penderita filariasis pada tahun 2008 yang terbanyak berada di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam (2.359 kasus), Propinsi Nusa Tenggara Timur (1.682 kasus), dan Propinsi Papua (1.127 kasus), sedangkan untuk wilayah Kalimantan, jumlah penderita terbanyak berada di Propinsi Kalimantan Timur (409 kasus), Propinsi Kalimantan Selatan (385 kasus), Propinsi Kalimantan Barat (253 kasus) dan Propinsi Kalimantan Tengah (225 kasus).
Propinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari 14 kabupaten, berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007 terdapat 226 kasus filariasis, tetapi berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2007 terdapat 254 kasus filariasis. Dari 14 kabupaten tersebut, sebanyak 7 kabupaten tidak terdapat kasus filariasis, sedangkan sisanya terdapat kasus filariasis. Ketujuh kabupaten yang terdapat kasus filariasis pada tahun 2007 adalah, Kabupaten Kotawaringin Timur (157 kasus), Kabupaten Kotawaringin Barat (28 Kasus), Kabupaten Seruyan (27 kasus), Kabupaten Kapuas (25 kasus), Kabupaten Barito Selatan (10 Kasus), Kabupaten Gunung Mas (4 kasus), Kabupaten Katingan (2 kasus), dan terakhir Kabupaten Sukamara (1 kasus).
Kabupaten Kotawaringin Timur dengan ibu kota Sampit, yang terletak di Propinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah endemis filariasis. Dalam laporan Hasil Eliminasi dan Pengobatan Filariasis Tahun 2006, menyatakan bahwa, microfilaria rate di seluruh daerah (kecamatan) di Sampit diatas satu persen. Menurut Mastur (Finroll News, 2010) Kecamatan Kota Besi, Cempaga, Soren, dan Pemalian microfilaria rate nya mencapai 1,45 persen.
Kecamatan Kota Besi mempunyai luas wilayah ± 217.700 Ha, merupakan daerah dataran rendah yang dilalui Sungai Mentaya dan beberapa anak sungainya seperti Sungai Pamalian, Sungai Seranau dan Sungai Kenyala dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 22.285 jiwa dengan mata pencaharian sebagian besar (45%) adalah berkebun, penyadap karet, bertani/berladang. Kecamatan ini merupakan salah satu daerah endemis filariasis, hal ini ditandai dengan angka microfilaria rate yang diatas 1%. Berdasarkan wawancara dengan petugas puskesmas setempat, terdapat 85 orang penduduk yang mengalami elephantiasis. Penderita tersebut berada pada kelompok umur 6-14 tahun sebanyak 2 orang, kemudian 83 orang pada kelompok umur diatas 14 tahun. Data ini secara epidemiologi mengindikasikan terdapat 830 orang yang mengalami gejala kronis dan 8.300 orang yang dalam darahnya kemungkinan ditemukan mikrofilaria. Namun, data-data yang terdapat di daerah tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena masih rendahnya sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut. Data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Filariasis merupakan salah satu dari enam besar penyakit yang masih menjadi masalah di dunia menurut World Health Organization (WHO). Penyakit ini termasuk kelompok penyakit yang ditularkan vektor (nyamuk), sehingga program pemberantasannya tidak hanya dititik beratkan pada permasalahan kuratif (pengobatan) tetapi juga memutus rantai penularannya. Setiap spesies nyamuk mempunyai bionomik yang berbeda-beda sehingga cara pengendaliannya pun berbeda. Kepadatan nyamuk yang tinggi disuatu wilayah akan meningkatkan risiko terinfeksi filariasis, ditunjang dengan adanya vektor potensial di daerah tersebut.
Vektor sangat terkait erat dengan spesies cacing filaria. Kepadatan mikrofilaria yang terlalu rendah dalam tubuh manusia akan menyebabkan mikrofilaria yang berkembang dalam tubuh nyamuk menjadi larva infektif sangat sedikit sehingga tidak mampu untuk menginfeksi manusia. Penularan secara optimal akan terjadi apabila kepadatan mikrofilaria di dalam darah penderita 1-3 mf/µl. Bila jumlah mikrofilaria terlalu sedikit, maka hanya sebagian kecil vektor dapat menghisap mikrofilaria. Sebaliknya bila jumlah mikrofilaria terlalu banyak, sepertiga dari nyamuk yang menghisap mikrofilaria akan mati. Tidak semua mikrofilaria yang masuk ke dalam lambung vektor (nyamuk) akan dapat melangsungkan kehidupannya berkembang menjadi larva, kurang lebih 40% akan mati di dalam lambung nyamuk. Di dalam tubuh nyamuk, jika jumlah mikrofilaria terlalu banyak dapat menyebabkan perkembangan menjadi larva infektif menjadi lambat atau terhambat sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar